Header Ads

Bubur Pedas Pontianak: Mangkuk Hangat dari Tanah Khatulistiwa yang Tak Pernah Benar-Benar Pedas

Di sebuah warung sederhana di Jalan Kom Yos Sudarso, seseorang sibuk mengaduk panci besar. Dari dalamnya mengepul uap harum kelapa sangrai, daun kesum, dan serai. Begitulah pagi khas kota Khatulistiwa: hangat, tapi bukan cuma karena cuaca. Ada kehangatan lain yang datang dari mangkuk bubur berwarna kecokelatan itu, bubur yang konon “pedas”, tapi sering kali tidak benar-benar pedas.

foto: Akhmad Ismail doc. on Google Map

Meski kini identik dengan Pontianak, bubur pedas sejatinya berasal dari masyarakat Melayu Sambas. Dahulu, bubur ini dimasak dalam acara adat atau saat musim paceklik, karena bahan-bahannya mudah ditemukan di sekitar rumah, beras, sayur liar, dan rempah yang ditanam sendiri.

Lucunya, kata pedas dalam nama bubur ini tidak selalu berarti “menggigit lidah.” Dalam dialek Melayu setempat, paddas berarti “ramai” atau “beraneka”, mengacu pada banyaknya jenis sayur dalam satu mangkuk. Jadi kalau kamu berharap lidah terbakar, ya, siap-siap sedikit terkecoh, tapi dijamin terhibur.

Menurut catatan Liputan6 dan Harian Haluan Kalbar, bubur pedas kemudian menyebar ke Pontianak lewat migrasi masyarakat Sambas di awal abad ke-20. Kini, hampir setiap sudut kota punya versinya sendiri, dari yang tradisional sampai yang agak “modern” dengan topping iga dan kikil.

Membuat bubur pedas itu seperti upacara kecil. Berasnya disangrai dulu, digongseng sampai kekuningan, lalu ditumbuk halus bersama kelapa parut yang juga disangrai. Proses ini penting memberi rasa gurih alami tanpa harus menambahkan santan.

Setelah itu, masuklah bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih, lada, ketumbar, dan terasi. Ditumis bersama serai, daun kunyit, dan daun salam. Aromanya bisa bikin tetangga salah paham, dikira kamu lagi masak kari atau opor.

Yang membuat bubur ini khas adalah sayurnya. Ada kangkung, pakis, kacang panjang, jagung muda, rebung, sampai daun kesum. Semua dimasukkan belakangan agar tetap segar dan bertekstur. Di atasnya, taburan ikan teri goreng dan kacang tanah renyah menambah “keramaian” rasa.

Rahasia bubur pedas itu di kesum, kalau kurang daun kesum, aromanya enggak jadi.

Kalau kamu ke Pontianak, gampang sekali menemukan penjual bubur pedas. Tapi empat nama yang paling sering direkomendasikan warga lokal antara lain: Bubur Pedas Pa’ Ngah, Pondok Burdas Merdeka, Rumah Makan 68, dan Warung Bubur Pedas Sultan Abdurrahman. Keempatnya sempat diulas oleh InsidePontianak dan IDN Times sebagai “penjaga rasa autentik dari Sambas.”

Yang menarik, tiap warung punya ciri sendiri. Pa’ Ngah pakai teri kecil dan kacang tanah goreng yang gurihnya nempel di lidah. Pondok Burdas cenderung lebih ringan dan sayurnya banyak, cocok buat yang lagi diet tapi pengen tetap makan enak.

foto: Muhammad Hafidullah doc. on Google Map

Jangan bayangkan bubur pedas seperti sambalado atau rica-rica. Ia bukan hidangan untuk adu ketahanan lidah. Justru sebaliknya, ini adalah jenis makanan yang menenangkan, lembut, tapi kaya rasa. Hangat di perut, dan entah kenapa, juga di hati.

Rasa “pedas” yang sebenarnya datang dari lada hitam dan rempah-rempah. Gurihnya dari kelapa sangrai. Dan kalau kamu makan sambil hujan turun di luar, kamu mungkin akan merasa dunia tidak seburuk itu.

Jadi kalau kamu mampir ke Pontianak, jangan buru-buru cari kafe kekinian dulu. Duduklah di warung sederhana, pesan satu mangkuk bubur pedas, hirup aromanya pelan-pelan. Rasakan rempah yang menari, kacang yang renyah, dan sayur yang segar.

Tidak ada komentar

close
pop up banner